Tadi malam saya nonton acara di TV yang cukup menarik. Temanya tentang “12 tahun Reformasi”, sekarang kita ada dimana?. Di acara ini sebagai narasumber ditampilkan Dr. Komarudin Hidayat dan beberapa aktivis mahasiswa jaman reformasi yang sekarang sudah menjadi anggota dewan. Mereka itu Fachri Hamzah (PKS) Budiman Sudjatmiko (PDI-P), Pius (Gerindra), dan satu orang dari partai pemerintah.
Kalau dulu waktu tahun 1998 atau 1999 reformasi selalu menjadi topik pembicaraan masyarakat di berbagai level. Bahkan di Warung kopi sekalipun, abang tukang becak tak segan bicara tentang reformasi. Waktu itu seingat saya banyak sekali yang menjadi pakar politik tingkat warung kopi. Tapi bagaimana dengan sekarang??
Setelah 12 tahun reformasi berlalu ternyata banyak kosakata politik dan hukum baru yang bertambah selain reformasi dan demonstrasi. Seperti kosakata berikut; koalisi, electoral treshold, angket-angket, pilkada, markus, dan lain sebagainya. Agaknya pengamat politik level warung kopi ini terlalu sulit mengikuti dan bosan dengan prilaku politisi. Atau memang politisi-politisi ini memang berhasil menarik tema-tema politik dan hukum ini dari ranah publik tingkat bawah ke ranah elit yang serba sulit terjangkau.
Benar saja, dari beberapa narasumber di acara TV-one tersebut meyakini bahwa pilar-pilar demokrasi (sistem politik kedaulatan rakyat) di Indonesia belum berdiri tegak. Malah terkesan ada upaya pelemahan terhadap pelembagaan demokrasi. Menurut Fachri Hamzah, banyak sekali undang-undang yang belum mengakomodasi penguatan sistem demokrasi di Indonesia. DPR punya hak pembuatan undang-undang namun tak punya instrumen “otak” untuk membuatnya. Hal ini membuat masa transisi ini menjadi sangat panjang. Budiman Sudjatmiko sendiri membenarkan pandangan Fachri dan punya telaahan sendiri. Politisi PDI-P ini mensinyalir masih adanya elemen orde baru yang sekarang terlibat secara langsung dalam demokrasi sekarang ini dan menjadi biang kerok tak menguatnya demokrasi di Indonesia.
Sementara anggota dewan daripartai pemerintah terus membela pak SBY-nya, Pius yang merupakan orang baru di Parlemen hanya bisa berkomentar kalau proses reformasi memang butuh waktu panjang. “sedang reformasi 1998 sendiri merupakan upaya sejak tahun 1973” katanya.
Apapun statement-nya.. selamat bagi Bapak-bapak politisi. Sekarang obrolan reformasi dan demokrasi tak lagi menjadi obrolan level warung kopi. Orang-orang di warung kopi sudah merasa bukan level mereka lagi berbicara tentang reformasi. Seyogyanya para politisi menyederhanakan bahasa-bahasa politik tinggi itu dan menerjemahkannya untuk masyarakat agar masyarakat dapat mengerti, dan mulai membersihkan politik dari para penjilat. Dengan begitu reformasi dan politik bias menjadi obrolan warung kopi lagi, Hehe..
0 komentar:
Posting Komentar